Bisnis.com, JAKARTA – Harga bijih besi terus mengalami penguatan dalam sepekan terakhir. Pemulihan ekonomi yang terjadi di China dan prospek minimnya pasokan kian melambungkan harga komoditas ini.
Dilansir dari Bloomberg pada Kamis (10/12/2020), harga bijih besi di pasar berjangka Singapura sempat naik hingga 2,5 persen pada posisi US$150,30 per ton. Dalam sebulan terakhir, harga bijih besi telah naik lebih dari 30 persen.
Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, hingga Kamis siang, harga bijih besi di Dalian Commodity Exchange (DCE) terpantau pada US$951,50 per ton. Secara year-to-date, harga bijih besi telah melesat hingga 54,39 persen.
Kenaikan harga bijih besi ditopang oleh optimisme pelaku pasar terhadap permintaan tinggi dari China sepanjang 2020. Hal tersebut juga diyakini akan berlanjut pada 2021 mendatang
Reli harga komoditas bahan dasar pembuatan baja ini juga didukung oleh besarnya jumlah produksi baja yang dihasilkan oleh China guna menopang pemulihan ekonomi Negeri Panda tersebut.
Kenaikan harga juga diikuti oleh sentimen dari salah satu perusahaan penghasil bijih besi asal Brazil, Vale SA, yang memangkas proyeksi total output pada pekan lalu.
Di sisi lain, pelaku pasar juga optimistis akan terjadinya defisit pasokan bijih besi seiring dengan faktor cuaca yang akan mengganggu kegiatan produksi di negara-negara wilayah selatan.
Laporan dari Orient Futures Ltd menyebutkan, arahan yang diberikan oleh Vale SA menunjukkan ekspektasi permintaan yang terdiskon pada tahun ini dan 2021 mendatang. Sementara itu, berkurangnya permintaan di China belum berdampak pada penurunan produksi baja.
“Meski demikian, laju kenaikan harga bijih besi yang cepat juga menimbulkan risiko perdagangan. Kami merekomendasikan investor untuk waspada dalam kontrak pengiriman jangka pendek,” demikian kutipan laporan tersebut.
Selain itu, total pengiriman bijih besi dari Port Hedland di Australia pada November juga mengalami penurunan. Data dari Pilbara Ports Authority menyebutkan, jumlah pengiriman bijih besi dari pelabuhan tersebut terkoreksi 4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Meski demikian, jumlah ekspor komoditas ini dari Port Hedland masih lebih baik secara year-to-date dibandingkan dengan 2019 lalu.
Adapun Port Hedland merupakan pelabuhan utama yang digunakan oleh perusahaan besar penghasil bijih besi seperti BHP Group dan Fortescue Metals Group Ltd.
Sementara itu, Direktur Penjualan dan Pemasaran Fortescue Metals Group Ltd mengatakan, pemulihan ekonomi dengan pola huruf ‘V’ atau V Shape di China didukung oleh paket stimulus yang dikeluarkan pemerintah setempat pada awal tahun ini. Kucuran dana tersebut akan menopang tingkat permintaan baja pada 2021 mendatang.
“Investasi di bidang properti kini sudah bertumbuh secara year-on-year, dan sektor manufaktur di China juga terus menunjukkan tren positif,” katanya.
Analis Goldman Sachs, Nicolas Snowdon dalam laporannya menyebutkan, jumlah persediaan bijih besi untuk tahun 2021 akan menurun secara signifikan seiring dengan tingkat permintaan dari China yang mulai melambat dan pemulihan permintaan dari negara-negara barat.
“Hal ini juga didukung oleh pertumbuhan pasokan bijih besi yang tidak akan signifikan dalam beberapa waktu mendatang,” katanya dikutip dari laporan tersebut.
Total persediaan bijih besi di pelabuhan-pelabuhan China diproyeksikan akan berada dibawah 100 juta ton pada pertengahan 2021, atau jumlah stok terminim sejak 2016 lalu.
Snowdon memperkirakan, shortfall persediaan bijih besi pada 2021 berada di level 27 juta ton. Pada 2020 lalu, persediaan bijih besi mengalami defisit 40 juta ton, naik dibandingkan defisit pada 2019 sebesar 28 juta ton.
Defisit persediaan tersebut, lanjutnya, menunjukkan faktor fundamental yang akan mendukung reli penguatan harga bijih besi dalam dua kuartal mendatang. Ia pun meningkatkan proyeksi harga bijih besi pada 2021 menjadi US$120 per ton dari sebelumnya US$90 per ton dan US$95 per ton untuk tahun 2022.
Sementara itu, laporan Commodity Market Outlook yang dirilis Bank Dunia menyebutkan, harga bijih besi telah melesat 25 persen pada kuartal III/2020. Reli ini terjadi setelah kenaikan secara perlahan yang terjadi pada dua kuartal sebelumnya.
Laporan tersebut menyatakan, kenaikan harga bijih besi ditopang oleh tingkat permintaan yang stabil dari China. Negara yang menguasai dua pertiga dari perdagangan bijih besi global tersebut membutuhkan pasokan bijih besi guna memproduksi baja.
Di sisi lain, pandemi virus corona juga turut berandil dalam kenaikan harga bijih besi. Hal tersebut menyebabkan produksi pada perusahaan penghasil bijih besi, Vale SA, terhambat yang turut berimbas pada proses transportasi untuk ekspor.
“Hambatan ini juga ditambah dengan pengetatan regulasi yang dilakukan pemerintah Brazil setelah jebolnya Bendungan Brumadinho pada 2019 lalu,” demikian kutipan laporan tersebut.
Bank Dunia melanjutkan, dalam tahapan pemulihan produksi, kenaikan pasokan bijih besi dari Brazil kemungkinan tidak akan terjadi dalam jangka pendek. Harga bijih besi diperkirakan tetap menguat pada tahun ini dan akan menguat 7 persen dibandingkan dengan posisi tahun 2019.
“Harga bijih besi kemungkinan akan terkoreksi 2 persen pada 2021 mendatang seiring dengan pemulihan pasokan dari Brazil,” demikian kutipan riset tersebut.